Maka kudengarlah orang mengatakan mantra begini “nasi dingin gulai paku, lalu angin lalu pula aku”. Konon itu adalah mantra yang hafal di luar kepala oleh orang banyak di kampungku. Sebuah mantra yang banyak dipakai oleh para maling di malam hari saat beroperasi. Dengan mantra inilah mereka bisa masuk ke rumah incaran melalui segala penjuru. Sehingga jika angin bisa berlalu di celah kecil yang terbuka, maka si maling pun bisa lolos dalam celah itu dan menyelinap ke rumah yang diincar dengan mudahnya.
Aku tak percaya dengan mantra itu. Tentu segala itu sudah digariskan dari agama yang aku yakini bahwa aku tak perlu percaya. Tak ada kekuatan selain kekuatanNya bukan. Namun, otak masa kanak kanaku waktu itu berpikir mana pula mungkin bisa seorang maling yang bertubuh besar bisa masuk ke rumah melalui celah ventilasi yang kecil itu. Tapi itulah yang banyak diyakini orang banyak dan aku dari orang yang sedikit itu, yang tak percaya dengan mantra yang sebenarnya seperti pantun kedengaranya bagi telingaku.
Terlebih lagi saat aku bertanya ke ayahku, “apa betul yang diceritakan orang?”. “Cobalah kau pikir sendiri anaku” ujar ayah pelan sembari menantang logika masa kanak kanaku untuk memikirkan peristiwa serta kaitan dengan mantra itu. Pria tenang dan penyabar itu kembali mengingatkanku bahwa hanya Dialah zat yang mahakuasa itu dan bukanlah pantun itu yang berkuasa.
Keesokan harinya dengan sepeda unto Raleigh-nya ayah mengajaku ke rumah seorang kampung yang kemalingan di waktu malam tadi. Malam yang dipenuhi oleh hujan mangatutuok, suatu kondisi malam yang sangat tepat bagi maling beroperasi.
Lalu bayangan kanak kanaku kembali tersiar di kepalaku. Tahulah aku kenapa ayah tak percaya dengan mantra itu. Kunci kokoh yang terbuat dari besi angker sebesar ukuran setengah lengan yang membelintang dibuat rompal oleh si maling. Nampaknya kunci kokoh itu minta ampun dengan linggis yang tentu ukuranya lebih besar lagi.
“Lihatlah olehmu anaku” kata ayahku waktu itu. “Jika mereka memakai mantra nasi dingin gulai paku, mana mungkin palang membelintang itu terkecai kecai lunglai?”. Aku mengangguk waktu itu pertanda apa yang dikatakan ayah sama dengan apa yang dipikirkan oleh pikiranku waktu kanak kanaku.
Dan bahkan malingpun memilih peluangnya. Iya memilih alat untuk mencongkel rumah yang tepat. Dan tentunya iapun sudah menyelidiki rumah itu sebelum beraksi dimalam yang ia inginkan nantinya. Yang paling tepat adalah mencari waktu yang tepat. Dan salah satu waktu yang tepat itu adalah di malam pekat saat terjadi hujan lebat yang mangatutuok itu. Dan saya sangat yakin, bahwa maling berkemungkinan besar tidak membuka aksinya di malam itu dengan matra yang konyol itu.
Namun, terkadang mantra itu sekali kali saya pakai pula untuk kondisi yang lain. Saya melihat kawan sebaya bisa melakukan hal hal yang sulit makapun saya ingin mencobanya pula. Awalnya sangat sulit namun di saat kita mencoba ternyata berjalan begitu mudahnya. Kuncinya berulang kali berusaha dan yakin bahwa akan tercapai dengan pertolonganNya. Maka mantra itu sudah berubah “naik sepeda sampai ke teratak, jika dia bisa kenapa saya tidak?”.
Kemudian seorang kawan bertanya kepadaku, “bagaimana kau mendapatkan semua peluang itu? Untuk semua yang engkau cita citakan”. Aku hanya diam membisu. Karena merasa tak layak menyawab pertanyaan itu. Biarlah mereka yang tak bosan bosan mengayuh sepeda yang menjawabnya J
Belfast, 28Aug2013