Titip Menitip dan Henti Berhenti

Judul: Titip Menitip dan Henti Berhenti

Tak kan kutitipkan ke angin karena ia tiada saat tekanan merata
Tak kan kutitipkan ke awan karena ia sirna saat siang menyala
Tak kan kutitipkan ke rembulan karena ia hilang saat siang datang
Tak kan kutitipkan ke mentari karena ia terusir saat malam hadir
Tak kan kutitipkan ke subuh karena ia lenyap saat pagi menyergap
Tak kan kutitipkan ke ke merah saga senja karena ia kelam seiring datangnya malam 
Tak kan kutitipkan ke bintang karena ia tiada saat purnama

Kutitip, rindu, buncah, igau ini kepadaMu untuk mereka yang kucinta. 

Mereka yang tak kenal penat walau lelah menghadang
Mereka yang tak kenal berhenti walau sudah dekat tujuan
Mereka yang tak kenal berhenti memberi walau tak ada yang mau diraih lagi
Mereka yang tak kenal berhenti cemas walau risau sudah tiada lagi
Mereka yang tak kenal berhenti berdu’a walau segalanya terkabul sudah

Mereka mereka dan mereka itu, di sini ini, di sana itu, di sitan itu dan di situ itu.

Belfast@161113

Nasi dingin gulai paku

Maka kudengarlah orang mengatakan mantra begini “nasi dingin gulai paku, lalu angin lalu pula aku”. Konon itu adalah mantra yang hafal di luar kepala oleh orang banyak di kampungku. Sebuah mantra yang banyak dipakai oleh para maling di malam hari saat beroperasi. Dengan mantra inilah mereka bisa masuk ke rumah incaran melalui segala penjuru. Sehingga jika angin bisa berlalu di celah kecil yang terbuka, maka si maling pun bisa lolos dalam celah itu dan menyelinap ke rumah yang diincar dengan mudahnya.

Aku tak percaya dengan mantra itu. Tentu segala itu sudah digariskan dari agama yang aku yakini bahwa aku tak perlu percaya. Tak ada kekuatan selain kekuatanNya bukan. Namun, otak masa kanak kanaku waktu itu berpikir mana pula mungkin bisa seorang maling yang bertubuh besar bisa masuk ke rumah melalui celah ventilasi yang kecil itu. Tapi itulah yang banyak diyakini orang banyak dan aku dari orang yang sedikit itu, yang tak percaya dengan mantra yang sebenarnya seperti pantun kedengaranya bagi telingaku.

Terlebih lagi saat aku bertanya ke ayahku, “apa betul yang diceritakan orang?”. “Cobalah kau pikir sendiri anaku” ujar ayah pelan sembari menantang logika masa kanak kanaku untuk memikirkan peristiwa serta kaitan dengan mantra itu. Pria tenang dan penyabar itu kembali mengingatkanku bahwa hanya Dialah zat yang mahakuasa itu dan bukanlah pantun itu yang berkuasa.

Keesokan harinya dengan sepeda unto Raleigh-nya ayah mengajaku ke rumah seorang kampung yang kemalingan di waktu malam tadi. Malam yang dipenuhi oleh hujan mangatutuok, suatu kondisi malam yang sangat tepat bagi maling beroperasi.

Lalu bayangan kanak kanaku kembali tersiar di kepalaku. Tahulah aku kenapa ayah tak percaya dengan mantra itu. Kunci kokoh yang terbuat dari besi angker sebesar ukuran setengah lengan yang membelintang dibuat rompal oleh si maling. Nampaknya kunci kokoh itu minta ampun dengan linggis yang tentu ukuranya lebih besar lagi.

“Lihatlah olehmu anaku” kata ayahku waktu itu. “Jika mereka memakai mantra nasi dingin gulai paku, mana mungkin palang membelintang itu terkecai kecai lunglai?”. Aku mengangguk waktu itu pertanda apa yang dikatakan ayah sama dengan apa yang dipikirkan oleh pikiranku waktu kanak kanaku.

Dan bahkan malingpun memilih peluangnya. Iya memilih alat untuk mencongkel rumah yang tepat. Dan tentunya iapun sudah menyelidiki rumah itu sebelum beraksi dimalam yang ia inginkan nantinya. Yang paling tepat adalah mencari waktu yang tepat. Dan salah satu waktu yang tepat itu adalah di malam pekat saat terjadi hujan lebat yang mangatutuok itu. Dan saya sangat yakin, bahwa maling berkemungkinan besar tidak membuka aksinya di malam itu dengan matra yang konyol itu.

Namun, terkadang mantra itu sekali kali saya pakai pula untuk kondisi yang lain. Saya melihat kawan sebaya bisa melakukan hal hal yang sulit makapun saya ingin mencobanya pula. Awalnya sangat sulit namun di saat kita mencoba ternyata berjalan begitu mudahnya. Kuncinya berulang kali berusaha dan yakin bahwa akan tercapai dengan pertolonganNya. Maka mantra itu sudah berubah “naik sepeda sampai ke teratak, jika dia bisa kenapa saya tidak?”.

Kemudian seorang kawan bertanya kepadaku, “bagaimana kau mendapatkan semua peluang itu? Untuk semua yang engkau cita citakan”. Aku hanya diam membisu. Karena merasa tak layak menyawab pertanyaan itu. Biarlah mereka yang tak bosan bosan mengayuh sepeda yang menjawabnya J

Belfast, 28Aug2013

Ditunggu Tunggu

Kutanya pada ibumu tentangmu

Kau yang selalu menghitung hari kapan kepulanganku

Walau kutahu saat kuhubungi kau membisu namun kutahu kau rindu

 

Kutanya pada ibumu tentang adik tengahmu

Dia bertambah besar dan cerdas pula seperti dirimu

Walau terkadang ia belum begitu tahu

Karena usianya baru sebegitu

 

Kutanya pada ibumu tentang adik bungsumu

Dia sekarang berkembang dan tumbuh pun sepertimu

Terkadang di malam hari merengek dan meraung ingin melihat gambarku

Kalian yang sekecil inipun sudah tahu dan punya rasa bahwa aku laki laki yang selalu kalian rindu dan tunggu tunggu

 

Subuh Menjelang

Dini hari sekarang

Subuh akan menjelang

Engkau bangun jauh sebelum hari terang

Menjemput rezeki bekal hidup keluargamu sekarang dan beberapa jelang mendatang

 

Rambutan kau tumpuk sudah di keranjang

Akan diangkut menuju pasar seberang

Berniaga dengan pengunjung pasar yang lalu lalang

Berharap nafkah penyambung hidup yang akan dijelang

 

Rambutan laku engkau berlalu pulang

Disambut oleh isteri yang selalu disayang

Disambut anak yang selalu terkenang

Dalam hati kau bertanya apakah nafas subuh ini akan sampai ke subuh menjelang

Hasil dan Usaha melaluiNya

Untuk menikmati keindahan dari puncak gunung tentulah perlu mendaki dinding yang terjal.

Untuk menikmati hijaunya belantara hutan tentu perlu merintis padatnya semak belukar.

Untuk menikmati birunya laut yang terhampar tentulah kau berlayar diombaknya yang terkadang menghempas.

Untuk menikmati putihnya sinar mentari pagi tentulah kau harus melewati malam yang pekat dan kelam.

 

Untuk menikmati indahnya merah saga sang mentari di ufuk barat tentulah harus melewati siang dengan mentari yang panas dan terik.

Untuk menikmati makanan yang enak tentulah melewati tungku pemasak

Untuk menikmati apapun yang ingin dinikmati tentulah melewati sesuatu untuk menikmati apapun itu.

Tak Usah

Tak usah

Tak usah kau risaukan ubanmu karena dia datang tanpa melihat berubahnya warna rambutmu.
Tak usah kau risaukan kulitmu karena dia datang tanpa melihat kerut kulitmu.
Tak usah kau lihat SK mu karena dia datang tanpa melihat kapan kamu pensiun.
Tak usah kau simpan elok akte kelahiranmu karena ia datang tanpa melihat tanggal lahirmu.
Tak usah kau dan tak usah kau berandai andai dan menunggu nunggu karena ia datang sudah pasti.
Tak usah dan tak usah kau berharap beribu tahun lagi dan jangankan kelapa yang masak sedangkan kelapa muda dan mumbang pun jatuh.
Tak usah dan tak usah menunggu menanti untuk menyiapkan bekal menyongsong tujuan yang sudah pasti.

Tak usah dan tak usah mencari alasan lagi karenanya sudah pasti.
@Untuku yang pasti menempuh itu.

Ayah

Ayah..
Saat kecil setiap hari kau mandikan aku
Waktu itu aku selalu lalu lari menjauh terburu buru.
Saat aku mandikan dirimu hanya sekali itu
Waktu itu kau terima saja dan diam membisu dalam kaku
Saat raya tiba baju baru adalah jatahku
Saat kau tiada hanya kain putih itu yang kusarungkan pada tubuhmu
Hanya sekali itu

Saat kecil aku selalu menurut naik sepedamu
Saat aku mempunyai kendaraan kau tak begitu menggebu

Saat kecil kau selalu menafakahiku
Saat aku bekerja kau tak meminta serupiah pun dariku
Cukupkan untuk Istri dan anakmu 
dan kalau kurang aku yang menjadi penambahmu 
itulah katamu

Sejak pagi buta kau bekerja seharian penuh
Rindu ini kau obat saat kau pulang sore dan badan yang berpeluh
Saat aku pergi merantau jauh 
Aku meninggalkan dirimu
Tentu kau rindu
Karena bahkan bertahun tahun aku tak kembali padamu