Salah satu keluargaku (sebutlah Abang) membalas pesan pendek dari media sosial yang kukirimkan sesaat selesainya pelaksanaan PhD viva saya pada Kamis 24/3/2016 jam 16.00 GMT. Viva ini dimulai jam 12.45 GMT dan berakhir setelah 3 jam berdiskusi hebat dengan para penguji tersebut. Viva ini dihadiri oleh 2 penguji, 1 orang pembimbing saya dan 1 orang ketua sidang. Hanya 2 orang penguji masing masing internal Dr. Tim Littler dan Eksternal Prof. Gareth A Taylor dari Brunel University, London yang boleh bertanya sedangkan yang lain hanya bisa mendengar saja dan baru berbicara jika dan hanya jika diminta. Pembimbing dan ketua sidang tidak boleh bertanya ataupun membantu saya.
Sidang berjalan sangat lancar. Semua yang mereka tanyakan saya jawab semampu saya. Tidak ada rasa tekanan yang saya rasakan. Bahkan sesaat sebelum sidang mereka sudah bertanya kepada saya apakah saya mau jadi Post Doctroal student atau membangun karir akademik di Queen’s Belfast atau university di UK lainnya yang tentu membuat saya bertambah percaya diri lagi. Aku tidak menolaknya dan tidak pula mengiyakannya. Yang terbayang di mata hanya menyelesaikan amanah ini dengan sebaik mungkin. Ini, baru pertama kali penguji dari Brunel ini datang menguji mahasiswa PhD di riset cluster saya. Ada kekhawatiran dari pembimbing saya jangan jangan sang penguji tersebut bakalan susah dan ketat dalam menguji. Saat beberapa bulan lalu pembimbing menanyakan apakah saya punya usulan siapa kira kira yang layak menjadi penguji saya, saya hanya mengatakan siapapun penguji saya dan kapanpun PhD viva diadakan maka saya siap sedia. Tak peduli apakah penguji tersebut mengenal pembimbing saya atau tidaknya. Itulah perasaan yang ada dalam benak dan hati saya yang saya ungkapkan ke pembimbing. “Jika itu adalah keputusanmu, maka kita akan tetap maju dan melaksankan sidangmu” kata pembimbing saya dan menyetujui Gareth sebagai penguji eksternal saya.
Lalu, sang Abang ini mengucapkan selamat dan merasakan kebahagianku adalah bagian dari kebahagiaanya pula. Aku senang akan reaksinya yang begitu tulus itu. Ia lanjutkan lagi balasan pesan pendek dari media sosial itu dengan mengatakan bahwa jika ada orang yang paling berbahagia di sekitarku atas kelulusanku maka orang itu pastilah Amak. Begitulah yang ia utarakan kepadaku. Betapa tidak, dengan usia rentanya ia masih merelakan aku pergi jauh meninggalkan walau tentunya ia akan menahan rindu tak terkira. Yang sangat saya syukuri adalah di usianya yang 74 tahun ini beliau masih sehat kecual sakit sakit kaki dan rematik yang biasa diidap oleh orang sebaya dengan usianya itu.
Tak kupungkiri apa yang disampaikan oleh Abang tersebut. Saat aku pergi merantau untuk bersekolah lagi, tentu Amak kesepian terutama ketika Ayah sudah tidak ada lagi. Jika dulu beban terasa ringan karena harus dipikul berdua ,maka tentu tanpa adanya Ayah, Amak merasakan beban yang berlebih. Tak ada lagi kawan untuk berbagi. Bersyukurlah saya bahwa Adik selalu tidak pernah lengah untuk menjaga Amak.
Namun walaupun begitu, Amak tak sedikitpun mengesankan bahwa ia merasa ditinggalkan olehku. Mungkin karena banyak keluarga yang lain yang tulus ikhlas menghiburnya saat ia merasa sendiri, aku tak tahu itu. Namun yang kutahu adalah bahwa ia memiliki kawannya sendiri. Setiap hari jika ia kutelpon, maka saat kutanya ia sedang mengapa jawabannya hanya dua saja, kalau tidak baru pulang dari masjid maka ia sedang berada di ruang depan sedang membaca al quran. Itulah kawan kawannya yang menemaninya saat aku jauh pergi.
Kukabarkan kepadanya bahwa aku telah lulus. Waktu itu telah jam 11 malam di tanah air. Amak sebenarnya berusaha untuk terjaga sejak sidangku dimulai jam 8 malam kurang itu. Namun karena larut sudah menghampiri iapun tertidur karena kantuknya yang tak tertahankan lagi. Menerima kabar baiku Amak pun meraung hebat. Aku tak bisa menduga arti raungannya itu apakah dikarenakan salah satu anaknya telah berhasil meraih Doktor di sebuah negara yang sangat maju pendidikannya itu atau dikarenakan ia terharu bahwa tak lama lagi aku akan pulang segera menemuinya. Yang kutahu adalah Amak bergembira atas berita itu.
Setelah ia menangkap pesan dariku bahwa aku telah lulus PhD viva dengan mulus pada tanggal 24 Maret 2016 tersebut, lalu buru buru ia memberikan telepon genggam tersebut ke adikku, “Abangmu, bicaralah kepadanya” ujar Amak kepada Adik, sayup sayup kutangkap dari kejauhan. Lalu, masih kudengar Amak yang menjauh dari telepon genggam itu sayup sayup masih memuji nama sang pencipta. Agaknya ia akan pergi ke kamar mandi dan membersihkan badan serta berwudu’ untuk lalu menunaikan sholat pertanda syukurnya kepadaNya.
Kukatakan kedalam hati dan melafazkan doa, agar atas ketulusan Amak membesarkan kami adik beradik maka tuhan mencatatkan pahala yang tak terkira buatnya. Menjadi pemberat timbangan amal kebaikan buatnya sehingga ia layak menghuni salah satu tempat di surgaNya.
Al fakir, Iswadi HASYIM ROSMA